Selasa, 05 November 2013

Impian Dena #25

0



 

 El cuento by eel dudina

Saat kami berdua masuk ke kamar Viola, mata mama membulat kaget. Mungkin mama tidak menyangka mas Rivan akan muncul bersamaku. Mama berusaha bangun dari pembaringan namun kucegah dan menahan tubuhnya agar tetap berbaring.


“Mas Rivan ingin melihat mama. Gimana perasaan mama? Udah baikan?” tanyaku sembari mengoleskan minyak kayu putih di tengkuk dan dahi mama.


“Dena memberitahu saya kalau ibu mendadak sakit karena itu saya ikut ke kamar ini.”


“Makasih nak Rivan, namanya sudah tua, penyakit apapun mudah masuk ke dalam tubuh.”


Mas Rivan menggiyakkan lalu tanpa ku persilahkan dia duduk di sebelah mama, memijat kaki mama, persis seperti yang aku lakukan. Sekilas kulihat mama, meski terkejut namun senyum yang hadir di wajah mama, menandakan mama suka dengan perlakuan mas Rivan padanya. Apa ini langkah mas Rivan untuk mengambil hati mama?


“Dena? Kenapa masih disini?” mbak Leli tiba-tiba muncul. Dia menatapku, lalu mas Rivan kemudian mama. Pandangannya terhenti pada mama. Seolah baru menyadari keadaan mama, mbak Leli bergegas mendekat.


“Mama sakit? wajah mama sangat pucat. Pantesan sejak tadi aku tidak melihat mama di ruangan.”ucapnya seraya duduk di samping mama. Mas Rivan berdiri agar mbak Leli bisa leluasa di samping mama.


“Mama cuma lelah sayang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”


“Bener mama nggak apa-apa?” mbak Leli menatap cemas.


Mama membalas kecemasannya dengan senyuman. Mbak Leli kelihatan lega. Pandangannya langsung beralih padaku.


“Dena, mbak Mia mencarimu.”


“Oh,ya. Kalau begitu, mbak Leli temani mama ya, aku  pergi dulu ya, ma.” Kataku bangkit berdiri lalu mencium kening mama.


“Aku ikut juga.” Ucap mas Rivan lalu menyusulku setelah pamit pada mama dan mbak Leli.


Ketika kami tiba di ruangan utama ternyata acara lamaran telah selesai, kini para tamu sedang menikmati hidangan. Aku berbaur dengan para undangan sambil mencari sosok mbak Mia.


“Dena, kamu kemana aja?” tepukan dibahuku membuatku berpaling. Mbak Mia terlihat senang melihatku bersama dengan mas Rivan.


“Kalian berdua ikut aku.” Ajak mbak Mia. Kami mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja mas Damar.


“Dena, kamu duduk disini, mas Rivan berdiri disini.” Kata mbak Mia sambil menunjuk sofa dekat jendela. Aku masih berdiri dengan pikiran penuh tanda tanya.


“Untuk apa, mbak?” tanyaku. Mbak Mia tak menjawab tapi menarik tanganku lalu menuntunku duduk di sofa.


“Nah, mas Rivan kemari, berdiri di samping Dena.”


Kulihat mas Rivan nampak bingung tapi tetap menuruti ucapan mbak Mia yang bersikap layaknya seorang fotografer yang mengatur posisi kami sebelum di potret.


“Oke, kalian tunggu ya, jangan bergerak atau mengubah posisi, mbak akan kembali.” Ucapnya seperti perintah sebelum menghilang di balik pintu. Kami berdua saling pandang dalam kebingungan.


“Kamu tenang saja, menurut perasaanku kita akan difoto.”ucap mas Rivan dengan senyum yang misterius menurutku.


“Benarkah?”


Tidak lama kemudian pintu terbuka. Muncul mbak Mia dengan seorang lelaki lengkap dengan kamera di tangannya.


“Silahkan di foto mereka mas.” Ucap mbak Mia sambil memberi kode pada kami agar bersiap-siap. Fotografer itu melihat kami sejenak. Dia maju mengatur posisi  kami sebelum kembali ke tempatnya semula.


“Oke, siap-siap ya,.” Ia memberi aba-aba. Kemudian Klik. Selesai.


“Jangan berdiri Dena.” seru mbak Mia ketika aku hendak beranjak dari sofa. Ia lalu mengeluarkan handphone kemudian memotret kami.


“Lihat hasilnya, kalian benar-benar pasangan serasi.” Komentar mbak Mia sambil memperlihatkan foto hasil jepretannya. Aku terbatuk karena kaget. Ada apa dengan kakak iparku ini? Bukankah aku sudah menceritakan masalahku? Lalu mengapa mbak Mia terlihat seperti memihak pada mas Rivan?


Wajah mas Rivan sumringah. Aku membayangkan, saat ini hatinya pasti sedang berbunga-bunga. Sikap mbak Mia barusan seperti tanda persetujuan keluargaku atas keinginannya. Hatiku serasa di jejal dengan tumpukan batu. Makin berat. Entah mengapa perasaan itu tiba-tiba hadir dalam hatiku.


Malamnya ketika aku masih memandangi dengan takjub baju yang tadi aku kenakan, mbak Mia masuk ke dalam kamar. Aku kembali teringat dengan kejadian pemotretan bersama mas Rivan.


“Baju yang indah bukan?” tegurnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.


“Makasih mbak, udah membelikan aku baju yang indah ini. Harganya tentu sangat mahal.”


“Bukan mbak yang membelinya Dena tapi mas Rivan.” Jawab Mbak Mia seraya menyentuh pundakku. Syukurlah kakak iparku itu tak melihat ekspresi kaget dari wajahku. Mataku bahkan nyaris melompat saat mendengar ucapan mbak Mia.


“Dia pesan khusus untukmu. Beberapa waktu yang lalu, mas Rivan menanyakan ukuran bajumu. Mbak juga tidak menyangka ternyata dia berniat membelikanmu baju.”


“Apa karena baju ini sikap mbak Mia tadi siang sangat aneh?”


“Tentu saja mbak nggak bisa mengabaikan mas Rivan, Dena. Apa kamu tidak melihat betapa bahagianya dia ketika kalian foto berdua? Anggap aja itu ucapan terima kasih kita karena kebaikannya.”


Kebaikan yang ada pamrihnya, lanjutku dalam hati.


“Tapi mbak Mia kan tahu perasaanku?”


“Iya. Jangan panik begitu dong Dena. Apa kamu lupa nasehat mbak tempo hari? Jika ingin tahu bagaimana perasaanmu pada mas Rivan, kamu harus mendekatinya bukan malah menjauh.”


“Entahlah, mbak. Makin dekat dengannya, aku merasa makin tidak tenang. Seolah ada hal yang mas Rivan sembunyikan dariku, entah apa yang pasti aku merasakannya.”


“Mungkin karena kalian baru bertemu, lama-lama juga nanti akan terbiasa..”


Aku hanya bisa termangu dengan pikiran bingung.


***


Setelah semalaman tidak bisa tidur memikirkan baju pemberian mas Rivandy, pagi ini saat bangun tidur, aku berniat mengembalikan baju itu. Aku membungkusnya dengan rapi lalu memasukkan kembali ke kotak baju itu sebelumnya.


Tekadku sudah bulat, hari ini setelah selesai kerja aku akan mengembalikan baju itu. Bagaimanapun aku belum siap menerima hadiah atau pemberian dari mas Rivandy. Aku merasa belum pantas untuk itu. Menerima pemberiannya sama saja dengan menegaskan perasaanku padanya.


Lalu harus aku antarkan kemana? Ke kantornya ataukah langsung ke rumahnya saja? tapi aku tidak tahu alamat rumah mas Rivandy. Bertanya pada mas Damar atau mbak Mia pasti akan membuat mereka makin penasaran. Tidak ada pilihan lain bagiku selain mendatangi kantor mas Rivandy.


Saat aku tiba di tempat kerja, Farhan menyambutku di depan toko. Sepertinya dia sengaja melakukan itu.


“Apakah kamu yakin akan berhenti bekerja di sini?” sambutnya dengan wajah murung.


Aku mengangguk sambil menekan tasku. Di dalamnya surat pengunduran diriku masih tersimpan dengan rapi.


“Padahal semalam aku terus berdoa, semoga niatmu berubah.” 


 “Farhan, ini permintaan kakakku. Tolong pahami..”


“Iyaaaaaa..” jawabnya dengan wajah cemberut.


“Kenapa dirimu masih tidak rela? jangan pasang wajah cemberut seperti itu.”


“Bagaimana bisa rela jika berpisah dengan pacarku? Jika itu kamu, apa bisa?”


Aku tidak menjawab hanya memegang tangannya.


“Sudahlah, kita jangan ribut lagi. Semua akan baik-baik saja..”


Kugandeng tangannya lalu beriringan masuk ke dalam toko. Saat ini aku aku hanya ingin menenangkan pikiranku. Terus berdebat dengan Farhan tidak akan menyelesaikan masalah. Dia tidak akan paham meski alasanku mendekati mas Rivan adalah demi dirinya juga. Agar aku bisa tenang mencintainya tanpa bayangan masa lalu bersama mas Rivan.


“Kamu berhenti kerja? Kenapa?” bos perempuan menatap heran padaku.


“Saya di minta membantu usaha kakak, bos.”


Bos perempuan manggut-manggut, aku merasa lega. Aku tidak ingin tindakanku ini menyinggung perasaannya. Bagaimanapun dialah yang menerimaku bekerja di tempat ini. Setelah perbincangan singkat, aku pamit keluar ruangan. Teman-teman kerja ternyata telah mengetahui berita pengunduran diriku. Mereka berkumpul di dekat meja kerjaku dengan wajah sedih.


“Jangan lupakan kami ya, Dena..” Etha yang pertama kali maju memelukku disusul yang lain. Insiden lucu terjadi ketika tiba giliran Radit. Dia mengucapkan kalimat perpisahan sambil berniat memelukku. Refleks Farhan maju dan menarik tubuhnya.


“Cuma peluk saja kok tidak boleh..” Radit merajuk.


“Enak saja. Makanya punya pacar, jangan pacar orang lain yang pengen di peluk..” jawab Farhan.


Kami kompak tertawa. Perhatian teman-teman membuatku terharu. Meski diselingi dengan tawa, aku tahu hati mereka sedih. Kulihat mata mereka berkaca-kaca seperti juga diriku. Tatapan teman-teman serta bos membuatku tak tahan untuk segera berlalu. Rasanya tak sanggup berlama-lama melihat mereka.


Airmataku bahkan menetes ketika taksi yang aku tumpangi melaju pelan meninggalkan toko. Sambil melambaikan tangan kuseka air mataku. Aku teringat saat meninggalkan rumah Siska, kejadian yang sama terulang kembali. Semoga aku bisa melewati masa-masa setelah ini dengan lebih baik. Semoga, pintaku dalam hati.


****


Tepat jam tiga aku tiba di kantor mas Rivan. Seorang staf memintaku menunggu di ruang tunggu karena saat ini mas Rivan sedang meeting.  Sambil menunggu aku iseng melihat-lihat sekeliling. Membayangkan diriku bekerja di tempat ini tentu sangat menyenangkan.  Aku berdecak kagum saat pertama kali melihat gedung kantor ini dari luar. Kantor ini sangat asri, tanaman hijau menghiasi setiap sudut ruangan. Desain gedung serta interior ruangan didalamnya juga sangat menarik. Siapapun yang melihat akan mengira jika direktur kantor ini adalah seorang perempuan.


Satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda meeting itu selesai. Aku makin gelisah sambil terus memandangi jam di handphoneku. Meski mulai tak betah aku kembali melanjutkan permainan game di hapeku. Satu-satunya game yang masih tersisa setelah aku menghapus seluruh game yang ada. Aku bersyukur masih menyisakan satu game yang menurutku tidak memberatkan pikiran. Aku suka memainkan game yang membuatku rileks dan tidak tegang karena berpikir.


“Mbak, silahkan masuk.” Suara staf wanita memanggilku. Buru-buru kumasukkan handphone lalu bergegas menuju ruangan manager. Kuketuk pintu sebelum menyentuh gerendelnya dan membukanya perlahan. Sedikit demi sedikit pintu terkuak, nampak mas Rivan tengah sibuk membaca dokumen.


“Assalamu Alaikum, mas.” Sapaku. Mas Rivan mendongak lalu meletakkan dokumen yang sedang ia baca. Senyumnya terkembang. Dia lalu bangkit berdiri, mendekatiku lalu mempersilahkan aku duduk.


“Maaf ya, Dena. Udah kelamaan menunggu. Maklum awal bulan, kantor sangat sibuk.”


“Iya, mas. Aku tahu itu.” Jawabku.


“Oh, ya. Lain kali kalau mau ketemu aku lebih baik nelpon saja dulu, biar tidak lama menunggu.”


“Tidak apa-apa, mas.”


Mas Rivan memperhatikan kantong yang aku bawa.


“Ini mas, aku ingin mengembalikan baju yang mas berikan untukku.” Dengan kikuk kuserahkan kantong belanja yang berisi kotak baju. Mas Rivan nampak bingung menerimanya.


“Baju? Aku memberikanmu baju? Kapan?” tanyanya membuatku terperanjat. Aku kaget tidak menyangka reaksi mas Rivan akan seperti ini.


“Baju. Baju yang aku kenakan kemarin, bukankah itu pemberian mas Rivan? Kata mbak Mia, mas yang mengirimkan baju itu ke rumah. Ada nama mas tertera di alamat pengirimnya.”


“Namaku? Apa mbak Mia tidak salah baca? Aku tidak pernah mengirim baju. Lagipula untuk apa aku mengirimnya? lebih baik aku memberikan langsung padamu. Lebih cepat dan praktis.”


Aku tertegun bingung sambil menatap kotak baju itu. Jika bukan mas Rivan yang mengirim baju itu, lalu siapa?


“Menurut mas Rivan, siapa kira-kira yang telah mengirim baju ini untukku? Aku yakin mbak Mia tidak mungkin salah membaca. Petugas pengiriman juga tidak mungkin menyerahkan paket jika tidak sesuai dengan alamat yang dituju. Jadi menurutku ini bukan salah kirim.”


“Aku tidak bisa menebaknya, Dena...hanya...”


“Hanya apa, mas?”


Mas Rivan menatapku seolah mengingat sesuatu.


“Mas Rivan kenapa?”


“Tidak apa-apa, Dena. Sebaiknya baju ini kamu bawa kembali. Aku akan mencari tahu siapa yang telah mengirim baju ini padamu. Aku penasaran karena orang itu telah berani memakai namaku.”


Perasaanku campur aduk saat  beranjak meninggalkan ruangan mas Rivan. Rasa malu dan bingung berbaur jadi satu. Malu karena ternyata bukan mas Rivan yang telah memberikan baju  itu. Hampir saja aku menjelaskan panjang lebar alasanku menolak pemberiannya padahal dia sama sekali tak tahu. Rasanya aku ingin terjun ke kolam, menyembunyikan diriku seandainya tadi aku benar-benar mengatakannya.


Sepanjang jalan aku terus berpikir. Namun semakin keras aku mencoba, aku hanya menemui jalan buntu. Tak ada petunjuk siapa gerangan yang begitu baik hati mengirimkan paket baju untukku.  Anehnya, mengapa dia mengatasnamakan mas Rivandy?  Aku tidak sabar ingin secepatnya tiba di rumah dan memberitahu mbak Mia.



( Bersambung )

0 komentar:

Posting Komentar