El cuento by eel dudina
Saat kami berdua masuk ke kamar Viola,
mata mama membulat kaget. Mungkin mama tidak menyangka mas Rivan akan muncul
bersamaku. Mama berusaha bangun dari pembaringan namun kucegah dan menahan
tubuhnya agar tetap berbaring.
“Mas Rivan ingin melihat mama. Gimana
perasaan mama? Udah baikan?” tanyaku sembari mengoleskan minyak kayu putih di
tengkuk dan dahi mama.
“Dena memberitahu saya kalau ibu
mendadak sakit karena itu saya ikut ke kamar ini.”
“Makasih nak Rivan, namanya sudah tua,
penyakit apapun mudah masuk ke dalam tubuh.”
Mas Rivan menggiyakkan lalu tanpa ku
persilahkan dia duduk di sebelah mama, memijat kaki mama, persis seperti yang
aku lakukan. Sekilas kulihat mama, meski terkejut namun senyum yang hadir di
wajah mama, menandakan mama suka dengan perlakuan mas Rivan padanya. Apa ini
langkah mas Rivan untuk mengambil hati mama?
“Dena? Kenapa masih disini?” mbak Leli
tiba-tiba muncul. Dia menatapku, lalu mas Rivan kemudian mama. Pandangannya terhenti
pada mama. Seolah baru menyadari keadaan mama, mbak Leli bergegas mendekat.
“Mama sakit? wajah mama sangat pucat.
Pantesan sejak tadi aku tidak melihat mama di ruangan.”ucapnya seraya duduk di
samping mama. Mas Rivan berdiri agar mbak Leli bisa leluasa di samping mama.
“Mama cuma lelah sayang, tidak ada
yang perlu dikhawatirkan.”
“Bener mama nggak apa-apa?” mbak Leli
menatap cemas.
Mama membalas kecemasannya dengan
senyuman. Mbak Leli kelihatan lega. Pandangannya langsung beralih padaku.
“Dena, mbak Mia mencarimu.”
“Oh,ya. Kalau begitu, mbak Leli temani
mama ya, aku pergi dulu ya, ma.” Kataku bangkit
berdiri lalu mencium kening mama.
“Aku ikut juga.” Ucap mas Rivan lalu menyusulku
setelah pamit pada mama dan mbak Leli.
Ketika kami tiba di ruangan utama
ternyata acara lamaran telah selesai, kini para tamu sedang menikmati hidangan.
Aku berbaur dengan para undangan sambil mencari sosok mbak Mia.
“Dena, kamu kemana aja?” tepukan dibahuku
membuatku berpaling. Mbak Mia terlihat senang melihatku bersama dengan mas
Rivan.
“Kalian berdua ikut aku.” Ajak mbak
Mia. Kami mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja mas Damar.
“Dena, kamu duduk disini, mas Rivan
berdiri disini.” Kata mbak Mia sambil menunjuk sofa dekat jendela. Aku masih
berdiri dengan pikiran penuh tanda tanya.
“Untuk apa, mbak?” tanyaku. Mbak Mia
tak menjawab tapi menarik tanganku lalu menuntunku duduk di sofa.
“Nah, mas Rivan kemari, berdiri di
samping Dena.”
Kulihat mas Rivan nampak bingung tapi
tetap menuruti ucapan mbak Mia yang bersikap layaknya seorang fotografer yang
mengatur posisi kami sebelum di potret.
“Oke, kalian tunggu ya, jangan
bergerak atau mengubah posisi, mbak akan kembali.” Ucapnya seperti perintah sebelum
menghilang di balik pintu. Kami berdua saling pandang dalam kebingungan.
“Kamu tenang saja, menurut perasaanku
kita akan difoto.”ucap mas Rivan dengan senyum yang misterius menurutku.
“Benarkah?”
Tidak lama kemudian pintu terbuka.
Muncul mbak Mia dengan seorang lelaki lengkap dengan kamera di tangannya.
“Silahkan di foto mereka mas.” Ucap
mbak Mia sambil memberi kode pada kami agar bersiap-siap. Fotografer itu
melihat kami sejenak. Dia maju mengatur posisi
kami sebelum kembali ke tempatnya semula.
“Oke, siap-siap ya,.” Ia memberi
aba-aba. Kemudian Klik. Selesai.
“Jangan berdiri Dena.” seru mbak Mia
ketika aku hendak beranjak dari sofa. Ia lalu mengeluarkan handphone kemudian
memotret kami.
“Lihat hasilnya, kalian benar-benar
pasangan serasi.” Komentar mbak Mia sambil memperlihatkan foto hasil jepretannya.
Aku terbatuk karena kaget. Ada apa dengan kakak iparku ini? Bukankah aku sudah
menceritakan masalahku? Lalu mengapa mbak Mia terlihat seperti memihak pada mas
Rivan?
Wajah mas Rivan sumringah. Aku
membayangkan, saat ini hatinya pasti sedang berbunga-bunga. Sikap mbak Mia
barusan seperti tanda persetujuan keluargaku atas keinginannya. Hatiku serasa
di jejal dengan tumpukan batu. Makin berat. Entah mengapa perasaan itu
tiba-tiba hadir dalam hatiku.
Malamnya ketika aku masih memandangi
dengan takjub baju yang tadi aku kenakan, mbak Mia masuk ke dalam kamar. Aku
kembali teringat dengan kejadian pemotretan bersama mas Rivan.
“Baju yang indah bukan?” tegurnya. Aku
mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih mbak, udah membelikan aku
baju yang indah ini. Harganya tentu sangat mahal.”
“Bukan mbak yang membelinya Dena tapi
mas Rivan.” Jawab Mbak Mia seraya menyentuh pundakku. Syukurlah kakak iparku
itu tak melihat ekspresi kaget dari wajahku. Mataku bahkan nyaris melompat saat
mendengar ucapan mbak Mia.
“Dia pesan khusus untukmu. Beberapa
waktu yang lalu, mas Rivan menanyakan ukuran bajumu. Mbak juga tidak menyangka
ternyata dia berniat membelikanmu baju.”
“Apa karena baju ini sikap mbak Mia
tadi siang sangat aneh?”
“Tentu saja mbak nggak bisa
mengabaikan mas Rivan, Dena. Apa kamu tidak melihat betapa bahagianya dia
ketika kalian foto berdua? Anggap aja itu ucapan terima kasih kita karena
kebaikannya.”
Kebaikan
yang ada pamrihnya,
lanjutku dalam hati.
“Tapi mbak Mia kan tahu perasaanku?”
“Iya. Jangan panik begitu dong Dena.
Apa kamu lupa nasehat mbak tempo hari? Jika ingin tahu bagaimana perasaanmu
pada mas Rivan, kamu harus mendekatinya bukan malah menjauh.”
“Entahlah, mbak. Makin dekat
dengannya, aku merasa makin tidak tenang. Seolah ada hal yang mas Rivan
sembunyikan dariku, entah apa yang pasti aku merasakannya.”
“Mungkin karena kalian baru bertemu,
lama-lama juga nanti akan terbiasa..”
Aku hanya bisa termangu dengan pikiran
bingung.
***
Setelah semalaman tidak bisa tidur
memikirkan baju pemberian mas Rivandy, pagi ini saat bangun tidur, aku berniat
mengembalikan baju itu. Aku membungkusnya dengan rapi lalu memasukkan kembali ke
kotak baju itu sebelumnya.
Tekadku sudah bulat, hari ini setelah
selesai kerja aku akan mengembalikan baju itu. Bagaimanapun aku belum siap
menerima hadiah atau pemberian dari mas Rivandy. Aku merasa belum pantas untuk
itu. Menerima pemberiannya sama saja dengan menegaskan perasaanku padanya.
Lalu harus aku antarkan kemana? Ke
kantornya ataukah langsung ke rumahnya saja? tapi aku tidak tahu alamat rumah
mas Rivandy. Bertanya pada mas Damar atau mbak Mia pasti akan membuat mereka
makin penasaran. Tidak ada pilihan lain bagiku selain mendatangi kantor mas
Rivandy.
Saat aku tiba di tempat kerja, Farhan menyambutku
di depan toko. Sepertinya dia sengaja melakukan itu.
“Apakah kamu yakin akan berhenti
bekerja di sini?” sambutnya dengan wajah murung.
Aku mengangguk sambil menekan tasku.
Di dalamnya surat pengunduran diriku masih tersimpan dengan rapi.
“Padahal semalam aku terus berdoa,
semoga niatmu berubah.”
“Farhan, ini permintaan kakakku. Tolong
pahami..”
“Iyaaaaaa..” jawabnya dengan wajah
cemberut.
“Kenapa dirimu masih tidak rela?
jangan pasang wajah cemberut seperti itu.”
“Bagaimana bisa rela jika berpisah
dengan pacarku? Jika itu kamu, apa bisa?”
Aku tidak menjawab hanya memegang
tangannya.
“Sudahlah, kita jangan ribut lagi. Semua
akan baik-baik saja..”
Kugandeng tangannya lalu beriringan
masuk ke dalam toko. Saat ini aku aku hanya ingin menenangkan pikiranku. Terus
berdebat dengan Farhan tidak akan menyelesaikan masalah. Dia tidak akan paham
meski alasanku mendekati mas Rivan adalah demi dirinya juga. Agar aku bisa
tenang mencintainya tanpa bayangan masa lalu bersama mas Rivan.
“Kamu berhenti kerja? Kenapa?” bos
perempuan menatap heran padaku.
“Saya di minta membantu usaha kakak,
bos.”
Bos perempuan manggut-manggut, aku
merasa lega. Aku tidak ingin tindakanku ini menyinggung perasaannya.
Bagaimanapun dialah yang menerimaku bekerja di tempat ini. Setelah perbincangan
singkat, aku pamit keluar ruangan. Teman-teman kerja ternyata telah mengetahui
berita pengunduran diriku. Mereka berkumpul di dekat meja kerjaku dengan wajah sedih.
“Jangan lupakan kami ya, Dena..” Etha
yang pertama kali maju memelukku disusul yang lain. Insiden lucu terjadi ketika
tiba giliran Radit. Dia mengucapkan kalimat perpisahan sambil berniat
memelukku. Refleks Farhan maju dan menarik tubuhnya.
“Cuma peluk saja kok tidak boleh..”
Radit merajuk.
“Enak saja. Makanya punya pacar, jangan
pacar orang lain yang pengen di peluk..” jawab Farhan.
Kami kompak tertawa. Perhatian
teman-teman membuatku terharu. Meski diselingi dengan tawa, aku tahu hati
mereka sedih. Kulihat mata mereka berkaca-kaca seperti juga diriku. Tatapan
teman-teman serta bos membuatku tak tahan untuk segera berlalu. Rasanya tak
sanggup berlama-lama melihat mereka.
Airmataku bahkan menetes ketika taksi
yang aku tumpangi melaju pelan meninggalkan toko. Sambil melambaikan tangan
kuseka air mataku. Aku teringat saat meninggalkan rumah Siska, kejadian yang
sama terulang kembali. Semoga aku bisa melewati masa-masa setelah ini dengan
lebih baik. Semoga, pintaku dalam hati.
****
Tepat jam tiga aku tiba di kantor mas
Rivan. Seorang staf memintaku menunggu di ruang tunggu karena saat ini mas
Rivan sedang meeting. Sambil menunggu
aku iseng melihat-lihat sekeliling. Membayangkan diriku bekerja di tempat ini
tentu sangat menyenangkan. Aku berdecak
kagum saat pertama kali melihat gedung kantor ini dari luar. Kantor ini sangat
asri, tanaman hijau menghiasi setiap sudut ruangan. Desain gedung serta interior
ruangan didalamnya juga sangat menarik. Siapapun yang melihat akan mengira jika
direktur kantor ini adalah seorang perempuan.
Satu jam berlalu, belum ada
tanda-tanda meeting itu selesai. Aku makin gelisah sambil terus memandangi jam
di handphoneku. Meski mulai tak betah aku kembali melanjutkan permainan game di
hapeku. Satu-satunya game yang masih tersisa setelah aku menghapus seluruh game
yang ada. Aku bersyukur masih menyisakan satu game yang menurutku tidak
memberatkan pikiran. Aku suka memainkan game yang membuatku rileks dan tidak
tegang karena berpikir.
“Mbak, silahkan masuk.” Suara staf
wanita memanggilku. Buru-buru kumasukkan handphone lalu bergegas menuju ruangan
manager. Kuketuk pintu sebelum menyentuh gerendelnya dan membukanya perlahan.
Sedikit demi sedikit pintu terkuak, nampak mas Rivan tengah sibuk membaca
dokumen.
“Assalamu Alaikum, mas.” Sapaku. Mas
Rivan mendongak lalu meletakkan dokumen yang sedang ia baca. Senyumnya terkembang.
Dia lalu bangkit berdiri, mendekatiku lalu mempersilahkan aku duduk.
“Maaf ya, Dena. Udah kelamaan
menunggu. Maklum awal bulan, kantor sangat sibuk.”
“Iya, mas. Aku tahu itu.” Jawabku.
“Oh, ya. Lain kali kalau mau ketemu
aku lebih baik nelpon saja dulu, biar tidak lama menunggu.”
“Tidak apa-apa, mas.”
Mas Rivan memperhatikan kantong yang
aku bawa.
“Ini mas, aku ingin mengembalikan baju
yang mas berikan untukku.” Dengan kikuk kuserahkan kantong belanja yang berisi
kotak baju. Mas Rivan nampak bingung menerimanya.
“Baju? Aku memberikanmu baju? Kapan?”
tanyanya membuatku terperanjat. Aku kaget tidak menyangka reaksi mas Rivan akan
seperti ini.
“Baju. Baju yang aku kenakan kemarin,
bukankah itu pemberian mas Rivan? Kata mbak Mia, mas yang mengirimkan baju itu
ke rumah. Ada nama mas tertera di alamat pengirimnya.”
“Namaku? Apa mbak Mia tidak salah
baca? Aku tidak pernah mengirim baju. Lagipula untuk apa aku mengirimnya? lebih
baik aku memberikan langsung padamu. Lebih cepat dan praktis.”
Aku tertegun bingung sambil menatap
kotak baju itu. Jika bukan mas Rivan yang mengirim baju itu, lalu siapa?
“Menurut mas Rivan, siapa kira-kira
yang telah mengirim baju ini untukku? Aku yakin mbak Mia tidak mungkin salah
membaca. Petugas pengiriman juga tidak mungkin menyerahkan paket jika tidak
sesuai dengan alamat yang dituju. Jadi menurutku ini bukan salah kirim.”
“Aku tidak bisa menebaknya,
Dena...hanya...”
“Hanya apa, mas?”
Mas Rivan menatapku seolah mengingat
sesuatu.
“Mas Rivan kenapa?”
“Tidak apa-apa, Dena. Sebaiknya baju
ini kamu bawa kembali. Aku akan mencari tahu siapa yang telah mengirim baju ini
padamu. Aku penasaran karena orang itu telah berani memakai namaku.”
Perasaanku campur aduk saat beranjak meninggalkan ruangan mas Rivan. Rasa
malu dan bingung berbaur jadi satu. Malu karena ternyata bukan mas Rivan yang
telah memberikan baju itu. Hampir saja
aku menjelaskan panjang lebar alasanku menolak pemberiannya padahal dia sama
sekali tak tahu. Rasanya aku ingin terjun ke kolam, menyembunyikan diriku
seandainya tadi aku benar-benar mengatakannya.
Sepanjang jalan aku terus berpikir.
Namun semakin keras aku mencoba, aku hanya menemui jalan buntu. Tak ada
petunjuk siapa gerangan yang begitu baik hati mengirimkan paket baju
untukku. Anehnya, mengapa dia
mengatasnamakan mas Rivandy? Aku tidak
sabar ingin secepatnya tiba di rumah dan memberitahu mbak Mia.
( Bersambung )
0 komentar:
Posting Komentar