El cuento by Elena Dunina
Hari yang ditunggu-tunggu keluarga mas
Damar akhirnya tiba. Hari ini acara lamaran Viola. Sejak kemarin keluarga kami telah
berkumpul di kediaman mas Damar. Bahkan sanak keluarga dari mbak Mia juga
nampak hadir. Wajar jika seluruh keluarga besar menyambut suka cita acara ini
karena Viola adalah cucu pertama yang akan melangsungkan pernikahan.
“Kamu kapan menikah, Dena?” bisik Evi,
adik mbak Mia ketika kami sedang melihat Viola di rias di kamarnya. Lama tak
bertemu dengannya, penampilannya semakin cantik saja. Bersuamikan seorang
pengusaha sukses, tentu saja membawa dampak pada kehidupannya. Tapi kali ini
dia datang sendiri, suaminya berhalangan hadir karena ada kegiatan di luar
negeri.
“Belum ada calonnya, mbak?” jawabku
menahan perih dalam hati.
“Jangan lama-lama. Tuh, Viola udah
mendahului kamu. Atau..kamu mau mbak kenalin dengan teman mbak?”
“Nanti aja, mbak. Aku masih sibuk
dengan kerjaan.”
“Tapi jangan terlalu asyik dengan
pekerjaan hingga kamu lupa untuk menikah. Cari suami yang mapan, yang bisa
diandalkan.”
“Iya, mbak.” Jawabku pendek, tak
berniat untuk melanjutkan pembicaraan. Lama kelamaan aku merasa tidak betah
karena mbak Evi terus berceloteh tentang kehidupan pribadinya. Mulai dari usaha
suaminya hingga sekolah anaknya yang memakan biaya ratusan juta. Meski aku
hanya diam tapi tetap saja kupingku terasa panas. Aku lalu beringsut menjauh
kemudian pelan-pelan meninggalkan kamar Viola.
Aku baru bernafas lega setelah keluar
dari sana. Acara keluarga selain reuni mempertemukan orang-orang yang jarang
bertemu, juga menjadi ajang memperlihatkan status diri. Segala hal menjadi
pertanyaan dan segala hal pula menjadi pembicaraan meski tidak penting-penting
amat untuk di bahas. Apakah memang pada umumnya seperti itu atau mungkin ini
hanya pemikiranku saja karena terlalu sensitif mendengar pertanyaan dari mbak
Evi.
“Dena, kamu nggak dandan?” mama
tiba-tiba muncul di depanku dengan kening berkerut. Menatapku dari ujung kaki
ke ujung rambut. Apa mama tidak mengenaliku sebagai anak sendiri?
“Kok kamu nggak pake kebaya sayang? Mbak mu
udah siapin di kamar. Ayo ganti, cepetan!”
“Kenapa lagi sih, ma?” tanyaku sewot.
Padahal menurutku penampilanku sudah cocok dengan acara ini. Aku memadukan
celana jeans hitam ketat dengan blus sifon payet safir warna jingga berhiaskan manik-manik di leher. Tak lupa
untuk riasan wajah aku mengoleskan foundation tipis di wajahku, lalu bedak
tabur, kemudian lipstik jadi pelengkap terakhir yang menutup dandananku
sementara rambutku kubiarkan tergerai.
Apa ada yang salah? Kulihat wajahku di
cermin tetap shic dan natural. Menurutku, tak perlu tampilan yang wah, toh
bukan aku yang akan menikah. Kan aneh kalau dandananku saingan sama Viola, aku terkikik sendiri.
“Dena nggak suka pake kebaya-kebaya
seperti mereka, ma. Gini aja. Nyaman, praktis.” Kataku membela diri.
Membayangkan harus berjalan dengan merapatkan kedua kaki, membuatku makin
malas. Belum lagi rambutku harus di tata sedemikian rupa menyerupai sanggul.
Aku tidak suka.
“Sayang, ayo ikut mama. Apa kamu nggak
tahu, keluarga Rivan juga hadir loh. Ini rahasia tapi karena kamu bandel, jadi
mama beritahu biar kamu nurut.” kata mama dengan sedikit berbisik.
“Bener, ma?”
“Iya, ayo cepetan.”
Aku tidak menunggu perintah mama lebih
detil lagi. Kami berdua lalu naik ke lantai dua kemudian masuk ke kamar mama.
“Kata siapa keluarga mas Rivan bakal
datang, ma?” tanyaku penasaran sambil melepaskan pakaian lalu memakai kebaya
warna hijau keemasan. Mama ikut membantuku memasangkan kancing-kancing kebaya.
“Dena, yang namanya acara sakral
seperti ini, biasanya dimanfaatkan untuk mencari jodoh. Jadi wajar jika
keluarga mas Rivan hadir, mereka tentu ingin melihat dan menilai Dena.”
“Kok cepet banget Dena harus di nilai?
Kan belum pasti juga Dena menerima lamaran mas Rivan?”
Mama buru-buru membekap mulutku dengan
tangannya.
“Meski tidak suka atau berniat tidak
menerima, jangan diperlihatkan sayang. Belajarlah santun. Semua hal akan jadi
jelek jika disampaikan dengan cara yang salah. Tapi kalau sikap dan tutur
bahasa Dena sopan, menolakpun akan terlihat bijak.”
Aku tercenung mendengar kata-kata
mama. Dalam hati aku membenarkan.
“Nah, sekarang mama akan menata
rambutmu.”
Aku pasrah di giring mama dan di dudukan
di depan meja rias. Mama memang ahli merias meski bukan penata rias. Kebiasaan membuatnya
makin lincah dan cekatan. Tidak sampai setengah jam, aku telah disulap menjadi
seseorang yang terlihat beda di depan cermin.
“Seperti ini seharusnya penampilan kamu,
sayang. Bukan seperti tadi.”
Aku tersipu malu sambil memutar tubuh
melihat diriku di dalam cermin. Kupandangi rambutku yang telah di tata sangat
apik oleh mama. Riasan wajahku juga tampak lebih bercahaya terutama pada bagian
mata. Rasanya tak percaya, ternyata aku bisa juga jadi cantik, batinku sambil
tertawa.
“Pake selop ini”. Mama menyodorkan
kotak sepatu. Aku membukanya dan takjub melihat model selop bertali warna hijau
ke emasan senada dengan kebaya yang aku kenakan. Benar-benar sempurna, mbak Mia
benar-benar baik. Menyiapkan secara khusus untuk aku kenakan di acara lamaran
putrinya. Makasih kakak ipar, kataku dalam hati.
Aku memakai selop itu dan makin
berdecak kagum. Serasa menjadi salah satu peserta dari pemilihan putri
indonesia. Baru kali ini aku memakai selop dengan hak tinggi yang kuperkirankan
lebih dari lima centimeter. Apa aku tidak akan jatuh?
Aku mencoba berjalan dan hampir
terpeleset, mama sigap menuntunku.
“Hati-hati, lebih baik kita turun
sekarang. Keburu datang calon mempelai prianya.”
“Iya,ma,”
Kali ini mama memintaku berjalan lebih
anggun, tidak boleh seperti tadi seradak seruduk. Tentu saja aku terpaksa harus
berjalan anggun. Memakai kebaya dengan model rok lipit sempit dan selop seperti
ini bagaimana aku bisa berlari? Jadi perempuan kok susah amat, keluhku sambil
memegang lengan mama menuruni anak tangga satu persatu. Beberapa pasang mata
dari sanak keluarga memperhatikanku. Aku grogi diperhatikan seperti putri yang
akan menikah padahal calon mempelainya bukan aku.
***
Tepat jam sepuluh pagi, mempelai pria beserta
keluarganya hadir. Tapi aku sama sekali tidak memperhatikan. Mataku terus
mencari-cari sosok mas Rivan. Sejak tadi aku tidak melihatnya di barisan tamu
yang duduk. Kemana dia? Apakah batal untuk hadir? Sia-sia rasanya aku berdandan
seperti ini.
Sambil memperhatikan para tamu yang
beriringan masuk, entah mengapa kadang aku merasa ada seseorang yang
memperhatikanku. Tapi siapa? Entahlah aku hanya merasa. Apakah ini ada
pengaruhnya dengan penampilanku kali ini? Aku yang biasanya cuek dengan
dandanan sekarang tampil beda. Semoga ini benar hanya perasaanku saja.
“Kamu cantik sekali..” suara dari arah
belakang mengagetkanku.
Aku berbalik dan seulas senyum
tersungging sangat manisnya di wajah seseorang yang sejak tadi aku cari. Mas
Rivan ternyata ikut berdiri berdesakan di belakangku. Kulit di bagian
punggungku kurasakan merinding. Aku makin gugup menyadari jarak kami sangat
dekat. Namun kesempatanku untuk sedikit melebarkan jarak sama sekali tidak ada.
Tamu dari pihak mempelai pria masih terus berdatangan dengan hantaran
masing-masing.
“Kok nggak di balas? Bilang terima
kasih.” Bisik mas Rivan sekali lagi menghadirkan sensasi di sekitar telingaku.
Ingin rasanya aku maju atau setidaknya menjauh sedikit, agar dapat menenangkan
debaran jantungku. Namun kesempatan itu tak kunjung datang. Akhirnya aku hanya
bisa pasrah dan pura-pura cuek dengan kehadiran mas Rivan di belakangku.
Kami terus berdiri hingga seseorang
menarik tanganku kebelakang. Semula kupikir mas Rivan namun ternyata tebakanku
salah. Lelaki itu bahkan telah lenyap entah kemana.
“Tante Dena dipanggil oma.” Kata ponakanku
Nayla sambil menunjuk ke arah kamar Viola.
Aku bergegas menuju kamar Viola sambil
celingak celinguk mencari sosok mas Rivan. Aneh, kemana dia? Tapi kenapa juga
aku mencarinya, toh dia bukan siapa-siapa bagiku.
Tiba di kamar Viola kulihat mama
sedang berbaring di tempat tidur sementara Viola tengah berjalan anggun menuju
pintu, disebelahnya saudari mbak Mia menggenggam tangannya, bersipa menuntunnya
keluar dari kamar.
“Mama kenapa?”tanyaku cemas lalu mengulurkan
tangan menyentuh dahi mama. Tidak panas tapi wajah mama sangat pucat.
“Oma mendadak sakit, tante Dena. Tadi
mau keluar bareng Viola, tapi nggak jadi.” Kata Viola sebelum keluar dari kamar.
“Kepala mama tiba-tiba pening, seperti
mau pingsan rasanya.” Ungkap mama sambil memijat kepalanya.
“Pasti mama kelelahan. Sejak semalam
mama kan kurang tidur.”
“Mungkin juga. Tapi tadi mama
baik-baik aja kok.”
“Namanya juga penyakit, ma. Dena
ambilkan minyak kayu putih ya, ma.” Kataku lalu bergegas keluar.
Namun aku tak leluasa untuk berlari karena
memakai rok dari kain batik panjang dengan lipitan sempit di paha, meski agak
sedikit longgar di bagian tumit tetap saja terasa menyiksa. Begini ini yang aku nggak suka, omelku sambil
menaiki anak tangga dengan susah payah.
“Mau aku bantu?” suara yang tak asing
lagi di pendengaranku.
Mas Rivan meraih tanganku lalu
membantuku melangkah. Semua terjadi sekejap dan aku tak bisa menolak ketika
tangannya menggenggam erat jemariku. Debar jantungku berpacu sangat cepat
hingga tak sepatah katapun terlontar dari mulutku. Bahkan sekedar ucapan terima
kasih. Kami berdua mendadak beku. Kurasakan saat ini hanya aku dan mas Rivan
yang ada di dalam rumah ini, tak ada orang lain. Seolah kami sedang menaiki tangga
mesjid untuk mengucapkan akad nikah.
Tiba di lantai dua kesadaranku
mendadak pulih, aku buru-buru melepaskan pegangan tangan mas Rivan lalu masuk
ke dalam kamar mama. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Kupikir mas Rivan
mungkin telah kembali ke lantai satu. Tentu saja dia ingin melihat prosesi acara
lamaran, pertolongannya tadi hanya kebetulan karena melihatku. Namun saat
keluar kamar, lelaki itu masih berdiri membelakangiku sambil memamandang ke
lantai satu.
Aku terpaku sesaat sebelum menutup
pintu. Sebagian hatiku merasa senang dan seolah terbang ke langit ke tujuh saat
melihat dirinya masih setia menungguku. Tapi kemudian aku tersenyum sendiri
menyadari diriku terlalu geer. Di rumah ini selain mas Damar dan mbak Mia, tak
ada seorangpun yang mas Rivan kenal, wajar jika dia mendekatiku.
Aku berdehem dan seketika dia berbalik
lalu tersenyum.
“Masih butuh bantuan?” tanyanya sembari
meraih tanganku tanpa menunggu jawabanku.
“Mas Rivan tidak melihat acara
lamaran?” aku balas bertanya. Lelaki itu menggeleng. Pelan-pelan kami berdua
menuruni anak tangga.
“Aku kemari hanya ingin bertemu
denganmu, jika kamu tak ada disana, untuk apa aku juga hadir disana?”
Aku tersanjung. Perasaan yang sama
kembali hadir ketika mas Rivan membantuku naik ke lantai dua. Genggaman
tangannya alirkan getar-getar ke seluruh sendi-sendi tubuhku. Terbuai lamunan,
aku lengah dan kurang hati-hati ketika melangkah, hingga hilang keseimbangan, oleng
dan nyaris terpelanting. Andai mas Rivan tidak cekatan menyambar tubuhku, pasti
saat ini aku sudah bergulingan di tangga. Aku ngeri membayangkan hingga tubuhku
gemetar.
Aku makin gemetaran saat merasakan mas
Rivan memelukku sangat erat. Rupanya mas Rivan juga menyadari tindakannya,
refleks dia melepaskan pelukannya. Aku grogi demikian pula dengan mas Rivan.
Aku bisa melihat dari sikapnya yang kikuk.
“Maaf, aku kurang hati-hati.”kataku akhirnya
memecah kebisuan di antara kami.
“Syukurlah kamu tidak jatuh..”
balasnya. Aku suka melihat kelegaan di
wajahnya.
Aku lalu melangkah sendiri. Namun belum
kakiku menjejak dua langkah, sentuhan tangan lelaki itu terasa di bahuku.
“Jangan jalan sendiri, kalo terjadi
seperti tadi bagaimana?” katanya sembari meraih tanganku lalu membantuku
melangkah.
Aku tak menjawab hanya pasrah menerima
perlakuannya. Ada rasa bahagia dalam hatiku. Perasaan tersanjung karena
diperhatikan.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar