Senin, 16 September 2013

Impian Dena #24

0




 El cuento by Elena Dunina

Hari yang ditunggu-tunggu keluarga mas Damar akhirnya tiba. Hari ini acara lamaran Viola. Sejak kemarin keluarga kami telah berkumpul di kediaman mas Damar. Bahkan sanak keluarga dari mbak Mia juga nampak hadir. Wajar jika seluruh keluarga besar menyambut suka cita acara ini karena Viola adalah cucu pertama yang akan melangsungkan pernikahan.

“Kamu kapan menikah, Dena?” bisik Evi, adik mbak Mia ketika kami sedang melihat Viola di rias di kamarnya. Lama tak bertemu dengannya, penampilannya semakin cantik saja. Bersuamikan seorang pengusaha sukses, tentu saja membawa dampak pada kehidupannya. Tapi kali ini dia datang sendiri, suaminya berhalangan hadir karena ada kegiatan di luar negeri.

“Belum ada calonnya, mbak?” jawabku menahan perih dalam hati.

“Jangan lama-lama. Tuh, Viola udah mendahului kamu. Atau..kamu mau mbak kenalin dengan teman mbak?”

“Nanti aja, mbak. Aku masih sibuk dengan kerjaan.”

“Tapi jangan terlalu asyik dengan pekerjaan hingga kamu lupa untuk menikah. Cari suami yang mapan, yang bisa diandalkan.”

“Iya, mbak.” Jawabku pendek, tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan. Lama kelamaan aku merasa tidak betah karena mbak Evi terus berceloteh tentang kehidupan pribadinya. Mulai dari usaha suaminya hingga sekolah anaknya yang memakan biaya ratusan juta. Meski aku hanya diam tapi tetap saja kupingku terasa panas. Aku lalu beringsut menjauh kemudian pelan-pelan meninggalkan kamar Viola.

Aku baru bernafas lega setelah keluar dari sana. Acara keluarga selain reuni mempertemukan orang-orang yang jarang bertemu, juga menjadi ajang memperlihatkan status diri. Segala hal menjadi pertanyaan dan segala hal pula menjadi pembicaraan meski tidak penting-penting amat untuk di bahas. Apakah memang pada umumnya seperti itu atau mungkin ini hanya pemikiranku saja karena terlalu sensitif mendengar pertanyaan dari mbak Evi.

“Dena, kamu nggak dandan?” mama tiba-tiba muncul di depanku dengan kening berkerut. Menatapku dari ujung kaki ke ujung rambut. Apa mama tidak mengenaliku sebagai anak sendiri?

 “Kok kamu nggak pake kebaya sayang? Mbak mu udah siapin di kamar. Ayo ganti, cepetan!”

“Kenapa lagi sih, ma?” tanyaku sewot. Padahal menurutku penampilanku sudah cocok dengan acara ini. Aku memadukan celana jeans hitam ketat dengan blus sifon payet safir warna jingga  berhiaskan manik-manik di leher. Tak lupa untuk riasan wajah aku mengoleskan foundation tipis di wajahku, lalu bedak tabur, kemudian lipstik jadi pelengkap terakhir yang menutup dandananku sementara rambutku kubiarkan tergerai.

Apa ada yang salah? Kulihat wajahku di cermin tetap shic dan natural. Menurutku, tak perlu tampilan yang wah, toh bukan aku yang akan menikah. Kan aneh kalau dandananku saingan sama  Viola, aku terkikik sendiri.

“Dena nggak suka pake kebaya-kebaya seperti mereka, ma. Gini aja. Nyaman, praktis.” Kataku membela diri. Membayangkan harus berjalan dengan merapatkan kedua kaki, membuatku makin malas. Belum lagi rambutku harus di tata sedemikian rupa menyerupai sanggul. Aku tidak suka.

“Sayang, ayo ikut mama. Apa kamu nggak tahu, keluarga Rivan juga hadir loh. Ini rahasia tapi karena kamu bandel, jadi mama beritahu biar kamu nurut.” kata mama dengan sedikit berbisik.

“Bener, ma?”

“Iya, ayo cepetan.”

Aku tidak menunggu perintah mama lebih detil lagi. Kami berdua lalu naik ke lantai dua kemudian masuk ke kamar mama.

“Kata siapa keluarga mas Rivan bakal datang, ma?” tanyaku penasaran sambil melepaskan pakaian lalu memakai kebaya warna hijau keemasan. Mama ikut membantuku memasangkan kancing-kancing kebaya.

“Dena, yang namanya acara sakral seperti ini, biasanya dimanfaatkan untuk mencari jodoh. Jadi wajar jika keluarga mas Rivan hadir, mereka tentu ingin melihat dan menilai Dena.”

“Kok cepet banget Dena harus di nilai? Kan belum pasti juga Dena menerima lamaran mas Rivan?”

Mama buru-buru membekap mulutku dengan tangannya.

“Meski tidak suka atau berniat tidak menerima, jangan diperlihatkan sayang. Belajarlah santun. Semua hal akan jadi jelek jika disampaikan dengan cara yang salah. Tapi kalau sikap dan tutur bahasa Dena sopan, menolakpun akan terlihat bijak.”

Aku tercenung mendengar kata-kata mama. Dalam hati aku membenarkan.

“Nah, sekarang mama akan menata rambutmu.”

Aku pasrah di giring mama dan di dudukan di depan meja rias. Mama memang ahli merias meski bukan penata rias. Kebiasaan membuatnya makin lincah dan cekatan. Tidak sampai setengah jam, aku telah disulap menjadi seseorang yang terlihat beda di depan cermin.

“Seperti ini seharusnya penampilan kamu, sayang. Bukan seperti tadi.”

Aku tersipu malu sambil memutar tubuh melihat diriku di dalam cermin. Kupandangi rambutku yang telah di tata sangat apik oleh mama. Riasan wajahku juga  tampak lebih bercahaya terutama pada bagian mata. Rasanya tak percaya, ternyata aku bisa juga jadi cantik, batinku sambil tertawa.

“Pake selop ini”. Mama menyodorkan kotak sepatu. Aku membukanya dan takjub melihat model selop bertali warna hijau ke emasan senada dengan kebaya yang aku kenakan. Benar-benar sempurna, mbak Mia benar-benar baik. Menyiapkan secara khusus untuk aku kenakan di acara lamaran putrinya. Makasih kakak ipar, kataku dalam hati.

Aku memakai selop itu dan makin berdecak kagum. Serasa menjadi salah satu peserta dari pemilihan putri indonesia. Baru kali ini aku memakai selop dengan hak tinggi yang kuperkirankan lebih dari lima centimeter. Apa aku tidak akan jatuh?

Aku mencoba berjalan dan hampir terpeleset, mama sigap menuntunku.

“Hati-hati, lebih baik kita turun sekarang. Keburu datang calon mempelai prianya.”

“Iya,ma,”

Kali ini mama memintaku berjalan lebih anggun, tidak boleh seperti tadi seradak seruduk. Tentu saja aku terpaksa harus berjalan anggun. Memakai kebaya dengan model rok lipit sempit dan selop seperti ini bagaimana aku bisa berlari? Jadi perempuan kok susah amat, keluhku sambil memegang lengan mama menuruni anak tangga satu persatu. Beberapa pasang mata dari sanak keluarga memperhatikanku. Aku grogi diperhatikan seperti putri yang akan menikah padahal calon mempelainya bukan aku.

***

Tepat jam sepuluh pagi, mempelai pria beserta keluarganya hadir. Tapi aku sama sekali tidak memperhatikan. Mataku terus mencari-cari sosok mas Rivan. Sejak tadi aku tidak melihatnya di barisan tamu yang duduk. Kemana dia? Apakah batal untuk hadir? Sia-sia rasanya aku berdandan seperti ini.

Sambil memperhatikan para tamu yang beriringan masuk, entah mengapa kadang aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Tapi siapa? Entahlah aku hanya merasa. Apakah ini ada pengaruhnya dengan penampilanku kali ini? Aku yang biasanya cuek dengan dandanan sekarang tampil beda. Semoga ini benar hanya perasaanku saja.

“Kamu cantik sekali..” suara dari arah belakang mengagetkanku.

Aku berbalik dan seulas senyum tersungging sangat manisnya di wajah seseorang yang sejak tadi aku cari. Mas Rivan ternyata ikut berdiri berdesakan di belakangku. Kulit di bagian punggungku kurasakan merinding. Aku makin gugup menyadari jarak kami sangat dekat. Namun kesempatanku untuk sedikit melebarkan jarak sama sekali tidak ada. Tamu dari pihak mempelai pria masih terus berdatangan dengan hantaran masing-masing.

“Kok nggak di balas? Bilang terima kasih.” Bisik mas Rivan sekali lagi menghadirkan sensasi di sekitar telingaku. Ingin rasanya aku maju atau setidaknya menjauh sedikit, agar dapat menenangkan debaran jantungku. Namun kesempatan itu tak kunjung datang. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan pura-pura cuek dengan kehadiran mas Rivan di belakangku.

Kami terus berdiri hingga seseorang menarik tanganku kebelakang. Semula kupikir mas Rivan namun ternyata tebakanku salah. Lelaki itu bahkan telah lenyap entah kemana.

“Tante Dena dipanggil oma.” Kata ponakanku Nayla sambil menunjuk ke arah kamar Viola.

Aku bergegas menuju kamar Viola sambil celingak celinguk mencari sosok mas Rivan. Aneh, kemana dia? Tapi kenapa juga aku mencarinya, toh dia bukan siapa-siapa bagiku.

Tiba di kamar Viola kulihat mama sedang berbaring di tempat tidur sementara Viola tengah berjalan anggun menuju pintu, disebelahnya saudari mbak Mia menggenggam tangannya, bersipa menuntunnya keluar dari kamar.

“Mama kenapa?”tanyaku cemas lalu mengulurkan tangan menyentuh dahi mama. Tidak panas tapi wajah mama sangat pucat.

“Oma mendadak sakit, tante Dena. Tadi mau keluar bareng Viola, tapi nggak jadi.” Kata Viola sebelum keluar dari kamar.

“Kepala mama tiba-tiba pening, seperti mau pingsan rasanya.” Ungkap mama sambil memijat kepalanya.

“Pasti mama kelelahan. Sejak semalam mama kan kurang tidur.”

“Mungkin juga. Tapi tadi mama baik-baik aja kok.”

“Namanya juga penyakit, ma. Dena ambilkan minyak kayu putih ya, ma.” Kataku lalu bergegas keluar.

Namun aku tak leluasa untuk berlari karena memakai rok dari kain batik panjang dengan lipitan sempit di paha, meski agak sedikit longgar di bagian tumit tetap saja terasa menyiksa.  Begini ini yang aku nggak suka, omelku sambil menaiki anak tangga dengan susah payah.

“Mau aku bantu?” suara yang tak asing lagi di pendengaranku.

Mas Rivan meraih tanganku lalu membantuku melangkah. Semua terjadi sekejap dan aku tak bisa menolak ketika tangannya menggenggam erat jemariku. Debar jantungku berpacu sangat cepat hingga tak sepatah katapun terlontar dari mulutku. Bahkan sekedar ucapan terima kasih. Kami berdua mendadak beku. Kurasakan saat ini hanya aku dan mas Rivan yang ada di dalam rumah ini, tak ada orang lain. Seolah kami sedang menaiki tangga mesjid untuk mengucapkan akad nikah.

Tiba di lantai dua kesadaranku mendadak pulih, aku buru-buru melepaskan pegangan tangan mas Rivan lalu masuk ke dalam kamar mama. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Kupikir mas Rivan mungkin telah kembali ke lantai satu. Tentu saja dia ingin melihat prosesi acara lamaran, pertolongannya tadi hanya kebetulan karena melihatku. Namun saat keluar kamar, lelaki itu masih berdiri membelakangiku sambil memamandang ke lantai satu.

Aku terpaku sesaat sebelum menutup pintu. Sebagian hatiku merasa senang dan seolah terbang ke langit ke tujuh saat melihat dirinya masih setia menungguku. Tapi kemudian aku tersenyum sendiri menyadari diriku terlalu geer. Di rumah ini selain mas Damar dan mbak Mia, tak ada seorangpun yang mas Rivan kenal, wajar jika dia mendekatiku.

Aku berdehem dan seketika dia berbalik lalu tersenyum.

“Masih butuh bantuan?” tanyanya sembari meraih tanganku tanpa menunggu jawabanku.

“Mas Rivan tidak melihat acara lamaran?” aku balas bertanya. Lelaki itu menggeleng. Pelan-pelan kami berdua menuruni anak tangga.

“Aku kemari hanya ingin bertemu denganmu, jika kamu tak ada disana, untuk apa aku juga hadir disana?”

Aku tersanjung. Perasaan yang sama kembali hadir ketika mas Rivan membantuku naik ke lantai dua. Genggaman tangannya alirkan getar-getar ke seluruh sendi-sendi tubuhku. Terbuai lamunan, aku lengah dan kurang hati-hati ketika melangkah, hingga hilang keseimbangan, oleng dan nyaris terpelanting. Andai mas Rivan tidak cekatan menyambar tubuhku, pasti saat ini aku sudah bergulingan di tangga. Aku ngeri membayangkan hingga tubuhku gemetar.

Aku makin gemetaran saat merasakan mas Rivan memelukku sangat erat. Rupanya mas Rivan juga menyadari tindakannya, refleks dia melepaskan pelukannya. Aku grogi demikian pula dengan mas Rivan. Aku bisa melihat dari sikapnya yang kikuk.

“Maaf, aku kurang hati-hati.”kataku akhirnya memecah kebisuan di antara kami.

“Syukurlah kamu tidak jatuh..” balasnya. Aku suka melihat  kelegaan di wajahnya.

Aku lalu melangkah sendiri. Namun belum kakiku menjejak dua langkah, sentuhan tangan lelaki itu terasa di bahuku.

“Jangan jalan sendiri, kalo terjadi seperti tadi bagaimana?” katanya sembari meraih tanganku lalu membantuku melangkah.

Aku tak menjawab hanya pasrah menerima perlakuannya. Ada rasa bahagia dalam hatiku. Perasaan tersanjung karena diperhatikan.

(Bersambung)

 


0 komentar:

Posting Komentar